Halaman

Senin, 18 Juni 2012

HARAPAN


Harapan itu bersifat manusiawi dan dimiliki semua orang. Dalam hubungannya dengan pendidikan moral. Jika manusia mengingat bahwa kehidupan tidak hanya di dunia saja namun di akhirat juga, maka sudah selayaknya “harapan” manusia untuk hidup di kedua tempat tersebut bahagia. Dengan begitu manusia dapat menyelaraskan kehidupan antara dunia dan akhirat dan selalu berharap bahwa hari esok lebih baik dari pada hari ini, namun kita harus sadar bahwa harapan tidak selamanya menjadi kenyataan.
Harapan, kata ini mengandung makna yang sama dengan kebutuhan manusia.
1. kelangsugnan hidup
2. keamanan
3. hak dan kewajiban mencintai dan dicintai
4. diakui lingkungan
5. perwujudan cita-cita

PENGERTIAN HARAPAN
Harapan dapat diartikan sebagai menginginkan sesuatu yang dipercayai dan dianggap benar dan jujur oleh setiap manusia dan harapan agar dapat dicapai, memerlukan kepercayaan kepada diri sendiri,kepercayaan kepada orang lain dan kepercayaan kepada ALLAH SWT.
Tentu setiap manusia memiliki harapan di dalam menjalani kehidupan, karena saya seorang mahasiswa, maka saya akan mengambil contoh ; saya berharap mendapat nilai yang bagus di dalam semua mata kuliah yang saya ambil, itu harapan saya dalam jangka waktu pendek. Tapi jika usut lebih dalam, pastinya saya berharap menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan Negara, kelak (harapan jangka panjang).
Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa harapan berarti manusia itu mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan bergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup dan kemampuan masing-masing. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan. Harapan harus berdasarkan kepercayaan, baik kepercayaan pada diri sendiri, maupun kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa. Agar harapan terwujud, maka perlu usaha dengan sungguh-sungguh.

MANUSIA dan KEGELISAHAN

Manusia dalam Kegelisahan, kegelisahan merupakan rasa kekhawatiran yang ada dalam diri manusia, rasa ini disebabkan karena kurang tentramnya jiwa seseorang tersebut, atau rasa tidak tenang yang menyebabkan rasa gelisah ini muncul.
Pada hakekatnya sebab-sebab orang gelisah disebabkan karena rasa takut pada hak-haknya. Namun terlepas dari itu usaha untuk mengatasi kegelisan sangatlah perlu. Yaitu dengan dimulai dari diri kita sendiri, dengan bersikap tenang dan tidak terbawa pengaruh emosi dalam jiwa kita. Karena jiwa kita sendirilah yang dapat kita kontrol untuk terlepas dari rasa kegelisahan.
Selama hidupnya, manusia pasti pernah mengalami kegelisahan baik intensitasnya sering ataupun jarang, apalagi di era globalisasi seperti saat ini yang membutuhkan tingkat kompetitifitas yang tinggi untuk hidup di dalamnya.

Sedangkan kita dapat mengetahui tanda tanda bahwa seseorang mengalami ketegang adalah dari tingkah lakunya. tingkah laku yang bagaimana? umumnya seorang yang sedang tegang melakukan hal- hal yang tidak biasa dia lakukan seperti berjalan mondar-mandir, duduk termenung sambil memegang kepalanya dan berbagai hal lain yang mungkin dapat membingungkan orang yang melihatnya.
SEBAB SEBAB ORANG GELISAH
Kegelisahan sendiri berasal dari kata gelisah yang berarti tidak tentram hatinya, selalu merasa khawatir,tidak senang tidak sabar, cemas sehingga kegelisahan merupakan hal yang menggambarkan seseorang tidak tentram hati maupun perbuatannya, merasa khawatir, tidak tenang dalam tingkah lakunya, tidak sabar ataupun dalam kecemasan. sedangkan kita dapat mengetahui tanda-tanda bahwa seseorang mengalami ketegang adalah dari tingkah lakunya

Selasa, 12 Juni 2012

SUNDANESE OF INDONESIA


 SUNDANESE POEPLE
The Sundanese are an ethnic group native to the western part of the Indonesian island of Java. They number approximately 31 million, and are the second most populous of all the nation's ethncities. The Sundanese are predominantly Muslim. During the 2010 Census the government identified 1,128 ethnic backgrounds in the country, though total figures are not yet released for Sundanese. In their own language, Sundanese, the group is referred to as Urang Sunda, and Suku Sunda or Orang Sunda in the national language, Indonesian.
The Sundanese have traditionally been concentrated in the provinces of West Java, Banten and Jakarta, and the western part of Central Java. Sundanese migrants can also be found in Lampung and South Sumatra. The provinces of Central Java and East Java are home to the Javanese, Indonesia's largest ethnic group.
Sundanese culture has a number of similarities with Javanese culture, however it differs by being more overtly Islamic, and has a less rigid system of social hierarchy.

ORIGINS AND HISTORY OF SUNDANESE
The Sunda Wiwitan belief contains the legend of origin of Sundanese people; Sang Hyang Kersa, the supreme divine being in ancient Sundanese belief created seven bataras (deities) in Sasaka Pusaka Buana (The Sacred Place on Earth). The oldest of these bataras is called Batara Cikal and is considered the ancestor of the Kanekes people. Other six bataras ruled various locations in Sunda lands in Western Java. A Sundanese legend of Sangkuriang contain the memory of the prehistoric ancient lake in Bandung basin highland, which suggest that Sundanese already inhabit the region since Stone Age era. Another popular Sundanese proverb and legend mentioned about the creation of Parahyangan (Priangan) highlands, the heartland of Sundanese realm; "When the hyangs (gods) were smiling, the land of Parahyangan was created". This legend suggested the Parahyangan highland as the playland or the abode of gods, as well as suggesting its natural beauty.
Hindu influences has reached Sundanese people as early as 4th century CE as evident in Tarumanagara inscriptions. Court cultures flourished in ancient times, for example, the Sunda Kingdom, however, the Sundanese appear not to have had the resources nor desire to construct large religious monuments similar to those in Central and East Java.
Inland Sunda is mountainous and hilly, and until the 19th century, was thickly forested and sparsely populated. The Sundanese traditionally live in small and isolated hamlets, rendering control by indigenous courts difficult. The Sundanese, in contrast to the Javanese, traditionally engage in dry-field farming. These factors resulted in the Sundanese having a less rigid social hierarchy and more independent social manners. In the 19th century, Dutch colonial exploitation opened much of the interior for coffee, tea, and quinine production, and the highland society took on a frontier aspect, further strengthening the individualistic Sundanese mindset.
There is popular belief among Indonesian ethnicities that Sundanese are famous for their beauty, in his report "Summa Oriental" on early 16th century Sunda Kingdom, Tomé Pires mentioned: "The (Sundanese) women are handsome, and those of the nobles chaste, which is not the case with those of the lower classes". It was said that Sundanese women are — in estimation of Indonesians — one of the most beautiful in the country. In Indonesian popular beliefs, it was said that because of the climate, they have lighter complexion than other Indonesians, and because the Sundanese diet features raw vegetables, they reputedly possess especially soft skin. Bandung ladies, popularly known as Mojang Priangan are reputedly pretty, fashion smart and forward looking. Probably because of this, many Sundanese people today pursue careers in the Indonesian entertainment industry.